DNA dan Senioritas didalam Tradisi Akademik: Cerita tentang B Besar dan b kecil
Thepresidentpost.id - Huruf besar B ditulis “B”, disebut capital letter, disisi lain huruf kecil ditulis “b”, bukan “b” dengan ukuran besar. Contoh sederhana basis dari proses tradisi akademik “to get cultured”, suatu hari, pagi cerah di Jakarta Raya, gadis kecil berbaju hijau duduk bersama Sang guru. Akhir bulan dimusim panas, berlalu sesaat dengan ilmu dan DNA khas yang akan dibawa sampai mati.
Diskursus DNA
B besar tak semestinya bertubuh dan berpikiran besar, demikian pula b kecil tak semestinya berbadan kecil dan berpikiran kecil. Hari bagus, hari untuk B besar dan b kecil untuk berhimpun, namun bukan dalam konteks bersama sang guru yang menularkan ilmu dasar bekal hidup untuk menjadi baik dikemudian hari. B kecil tak lagi seumur jagung, proses “to get cultured” telah menetaskan DNA, dan menghantar B menjadi bagian dari masyarakat berpikir. Berikut cerita tentang DNA dan senioritas didalam tradisi akademik.
Proses “to get cultured” tak terlepas dari akar kuat dan air yang mengalir dari nadi Sang guru untuk kemudian menjadi chemicals, sebagian suara menyatakan DNA. Untuk itu, chemicals dan DNA menjadi menarik (attractive) dan mudah dikenali bagi yang menjumpainya. Namun demikian proses “to get cultured” tak semestinya melahirkan semua peserta didik menjadi tetas generasi yang melekat dengan chemicals dan DNA dari nadi Sang guru. Sebagaimana kumpulan anak ayam, 4 dari anak ayam yang lahir, mungkin satu yang memiliki ciri khas karakteristik dari Sang Ibu Ayam. Begitu juga dengan konteks tradisi akademik yang melekat erat dengan konsep senioritas dan konsep jam terbang.
Banyak sudah kajian mendalam mengeksplorasi hal tersebut, namun sedikit kajian yang mencoba menelaah keterkaitan dari DNA dan senioritas. DNA terkait dengan cerita nadi, darah, air yang mengalir dari Sang guru, serta significant others dari diri yang menjalani proses “to get cultured”. Disisi lain, senioritas merupakan spektrum kelekatan atas tradisi di - tua - kan dalam konteks jam terbang, juga mencakup kecakapan berpikir dan bertindak. Dalam sejarah peradaban Nusantara, senioritas disebut sebagai “Orang yang banyak makan asam garam”. Garis tipis dari dari DNA dan senioritas terletak pada daya tarik dalam berpikir dan bertindak dalam bentukan diskursus on - going pencangkokan dan school of thought kiblat tertentu dari Universitas. Beberapa kecakapan yang menjadi value - added adalah kecakapan menuangkan serapan berpikir kedalam tulisan ilmiah dan dipublikasikan dalam Jurnal periodik yang dijaga ketat oleh para cendikiawan atau para cerdik pandai, dialah para Dosen Senior dan Profesor.
Selain kategori Orang yang banyak makan asam garam dalam pencapaian hasil penelitian dan publikasi, kategori lain merupakan yang di - tua - kan sebagai “punggawa”, yaitu penyambung tongkat estafet tradisi akademik, penapis dan penjaga setia, body - guard para penulis berciri khas “kutu buku” nan polos, yaitu para cendikiawan (yang cenderung) introverted. Punggawa selalunya orang kharismatik, memiliki daya serapan berpikir canggih, sistemik serta bertutur baik. Sang Punggawa eksentrik, Profesor bersepatu jingga atau merah. Bijak dalam spektrum warna khasnya. Punggawa selalunya memiliki ruang khusus dalam hatinya untuk para penulis berciri khas “kutu buku” nan polos, yaitu para cendikiawan (yang cenderung) introverted.
Senioritas didalam Tradisi Akademik
Para cendikiawan (yang cenderung) introverted yang memiliki karakteristik pendiam namun tak pasif, berselera humor kering namun attractive, bermata bagus, melihat dengan logika saintifiks, dan bertelinga tajam bertapis ketat, akan menjadi sangat kuat jika bekerjasama dengan Punggawa. Punggawa akan menjaga para cendikiawan (yang cenderung) introverted bukan hanya karena cendikiawan (yang cenderung) introverted selalu siap mendengar Punggawa yang memang suka memberi ide - ide, gagasan berpikir, dan saran, namun juga karena Punggawa adalah jenis cendikiawan yang berjiwa heroik dan cenderung tak sampai hati melihat ketidak - berdayaan para cendikiawan (yang cenderung) introverted yang bercitra tak berdaya.
Lizzy sang Punggawa senior nan aktif, kawan sekolah dihutan hijau dahulu, bahkan siap memberikan bajunya karena tak sanggup melihat sesama kawan cendikiawan seniornya kedinginan berbaju tipis, sebabkan tas luggage tertinggal diairport. Ini bajuku, pakailah. Ikatan emosional yang terbangun kuat dan terajut apik dari akar DNA dan tradisi akademik hutan hijau. Menarik namun tak mengejutkan para cendikiawan (yang cenderung) introverted sebenarnya bukan tak berdaya, namun cendikiawan (yang cenderung) introverted memilih mengambil sikap demikian. Inilah indikasi siklus peran - peran dalam panggung tradisi akademik. Punggawa menangkap dan menganggap serius signal kuat heroism dalam nadinya sebagai penjaga (baca: penyelamat). “Kau tak boleh mengejek/menginjak cendikiawan (yang cenderung) introverted”, bersuaralah dan memasang badan seorang Punggawa diikuti dengan senyum kecilnya. Singkatnya, saling menjaga merupakan satu dari sekian banyak DNA dalam spektrum tradisi akademik.
Konteks senioritas didalam tradisi akademik lainnya berkisar seputar keahlian penurunan ilmu, budi baik, dan akar serapan berpikir ala pemikir dan penulis melankolis sempurna. Kategori pemikir dan penulis melankolis sempurna melekat dengan totalitas minat bertukar pikiran yang memperkaya khasanah horizon diskursus. Senioritas dalam kelompok pemikir dan penulis melankolis sempurna biasanya melekat dengan kepangkatan akademik, namun tak semestinya melekat dengan labelitas kelas dalam kasta tradisi akademik. Merekalah figur cerdik pandai, para cendikiawan pemikir dan penulis melankolis sempurna yang membuat para junior dan seniornya memanggilnya dengan nama depannya. Begitu dekat sehingga kecintaan timbul dan tumbuh bukan hanya dimusim semi. Namun yang terpenting melekat dengan pola kematangan berpikir, kemerdekaan, dan keleluasaan dimensi ketajaman berpikir, kualitas kecakapan akademik pada satu ranah ilmu, dan otentitas tulisan.
Secara singkat, ketajaman berpikiran, kualitas kecapakan akademik berkisar pada ketekunan membaca berkelanjutan pada satu ranah ilmu, dan kecakapan menyebarkan ilmu dan hasil kajian. Contoh paling klasik adalah ketika seorang yang Senior dibidangnya berbicara, dia akan selalu menginspirasi dan memberikan tetesan ilmu, hal baru yang memberikan warna lain pada spektum berpikir kepada para pendengar/pembaca. Merekalah para pemberi cahaya yang terus merasa haus, menjelajah mencari sumber air bersama rekan Profesornya. Dengan kata lain, senioritas diukur dengan dimensi - dimensi tersebut. Dengan demikian, keberlanjutan senioritas didalam tradisi akademik menjadi kukuh, ajek, adil, dan betul.
Baca Juga
- The Indonesian Embassy in Cairo Receives Aid for Palestine
- Ministry of Foreign Affairs and Supreme Court Optimize Digitalization of Cross-border Civil Legal Assistance Services
- The Indonesian Embassy in Cairo Receives Aid for Palestine
- The Indonesian Consulate General in Perth Introduces Potential Agricultural Cooperation Between Indonesia and Western Australia at the Food Innovation…
- Indonesian Seafarer Released by Angolan Police with Assistance from the Indonesian Embassy in Windhoek
Komentar