Ihwal Kekonyolan Sampai Terkena Covid-19
Thepresidentpost.id - Kepelikan melawan Covid - 19 karena ia musuh tak kelihatan. Hanya dengan mikroskop maha besar kita bisa melihat wujudnya.
Oleh karena hanya ilmuwan virus yang bisa melihat dan mengenali sosok Covid - 19, tidak semua orang percaya Covid - 19 ada.
Di Indonesia ada sekitar 44 juta orang yang tidak percaya itu. Masalah orang yang tidak percaya Covid - 19 itu ada, dilematis buat pemerintah.
Membunuh Covid - 19 hanya berhasil sempurna bila ia masih berada di luar tubuh inangnya, yakni tubuh kita dan hewan yang biasa Covid - 19 biasa singgah. Di mana Covid - 19 berada di luar tubuh?
Yaitu di tempat - tempat yang kita perkirakan kemungkinan Covid - 19 berada.Di semua tempat publik, rumah sakit, puskesmas, apotek, laboratorium klinik, selain terminal,stasiun, bandara, pasar, gedung bioskop, restoran, tempat gym, tempat ibadah, supermarket, mall. Pendek kata semua ruang publik.
Oleh karena untuk membasmi setelah Covid - 19 memasuki tubuh, belum ada obat yang tokcer, maka penting membasminya selama Covid - 19 masih berada di luar tubuh. Dari mana Covid - 19 berasal?
Tentu Covid - 19 berasal dari orang yang tubuhnya membawanya, sudah tampak sakit atau bisa saja tanpa atau belum menunjukkan gejala.
Dan cara Covid - 19 keluar dari tubuh pembawanya, lewat pernapasan, sewaktu orang berbicara, batuk, atau bersin.
Untuk alasan itu masker perlu dipakai. Jarak dijaga sejauh kemungkinan Covid - 19 bisa disemburkan. Mungkin tak cukup 2 meter saja lagi kalau masker tidak dipakai mengingat semburan Covid - 19 bukan cuma dropelt atau percikan liur saja lagi, melainkan sudah bisa lewat aerosols, yakni semburan yang lebih halus serupa kabut (fine mist) yang bukan saja lebih tersembur jauh dari 10 meter, melainkan bisa terbang beberapa jam di udara.
Sekali lagi ini terjadi bila tanpa masker. Tapi apakah masker seratus persen menjamin kita pasti tidak tertular?
Tergantung jenis maskernya, dan cara memakainya. Hanya masker yang terstandard yang bisa dipercaya dan masker bedah (surgical mask) sekalipun hanya 89 persen daya lindung Covid - 19, dan hanya 95 persen masker N - 95.
Tapi masker lainnya kurang dari 89 persen daya lindungnya. Apa artinya ini?
Artinya masih ada potensi Covid menerobos keluar, dan memasuki hidung - tenggorok, kendati masker dipakai. Potensi itu terjadi apabila jarak antar - manusia cukup dekat untuk mengirimkan dan menerima Covid - 19, yang bila disembur napas 1,5 meteran, batuk 2 meteran, dan bersin lebih 6 meteran. Bagaimana bila aerosols terjadi?
Semburan bisa lebih 10 meteran dan terbang 3 meteran. Artinya di area sejauh itu udara sudah tercemar, andai di situ berada pembawa Covid.
Nasib kita ketika berada di tengah udara yang sudah tercemar Covid - 19 ditentukan oleh seberapa dekat jarak kita dengan sumber pembawa Covid, seberapa lama kita berbicara dengannya, dan atau seberapa lama pula kita berada di tengah udara tercemar, apakah dalam ruangan tertutup beraircon.
Makin dekat berada berdekatan dengan pembawa Covid, makin lama berbicara dan atau berada di udara sudah tercemar Covid, makin tersenterong langsung oleh kipas aircon, makin kurang stanard masker yang dipakai, makin besar potensi dan kemungkinan kita dimasuki Covid - 19.
Apakah bila tubuh kita dimasuki satu ekor Covid - 19 saja sudah bikin kita jatuh sakit Covid? Tentu tidak.
Tidak pula bila hanya ratusan ekor. Perlu sekitar seribuan ekor Covid - 19 untuk bikin kita jatuh sakit. Dan itu diperoleh dari akumulasi selama kita berada di area tercemar Covid.
Dari satu hembusan napas pembawa Covid akan tersembur sekitar 20 - an ekor Covid - 19. Batuk 200 - an ekor, bersin ribuan ekor.
Jadi tinggal dihitung, berapa dekat kita berada di dekat pembawa Covid, berapa lama berada di ruangan yang udaranya sudah mengandung Covid, lalu sekian banyak total Covid - 19 yang memasuki tubuh, dengan cara menerobos melewati masker bila jenisnya tidak terstandard, atau cara pakainya masih menyisakan celah, atau masker dibuka sejenak, atau selama waktu makan - minum.
Dan apakah bila tubuh dimasuki jumlah Covid - 19 yang bikin kita sakit, kita pasti jatuh sakit Covid - 19?
Belum tentu juga. Tergantung seberapa tangguh kekebalan tubuh kita, seperti apa kondisi dan status kesehatan kita.
Usia lanjut, punya penyakit penyerta comorbid, pengidap kanker, HIV - AIDS, gangguan kekebalan, autoimun, berbeda kerentanannya untuk jatuh sakit.
Yang kebal mungkin batal sakit (abort). Tapi tetap membawa Covid di tubuhnya untuk beberapa lama. Sekurangnya sampai tiga mingguan. Termasuk yang OTG orang tanpa gejala.
Bahwa di tempat publik belum tentu ada pembawa Covid - 19 tentu bisa saja terjadi sehingga walaupun maskernya tidak tepat, dan keliru cara pakainya, dan berlama - lama di ruang tertutup, atau sama sekali tidak memakai masker, bisa saja tidak sampai terkena Covid.
Pengalaman ini yang membangun keniscayaan pada diri sendiri dan orang lain, bahwa riwayat makan bareng di resotran, berkumpul pesta, atau mengobrol bersama, ternyata tidak harus sampai terkena Covid.
Padahal itu terjadi karena kebetulan, sekali lagi, karena kebetulan yang pernah dialami itu di area yang tidak ada pembawa Covid, dan udara tempat berada belum tercemar Covid.
Kesimpulan yang sudah mengalami hal ini, bahwa berada di tempat publik, ternyata aman - aman saja bisa menyesatkan diri sendiri maupun orang lain yang meniscayainya.
Lalu akan menjadi sebuah kekonyolan apabila pada kesempatan berikutnya yang masih diniscayainya itu, yang tanpa diketahui, andai kebetulan memasuki area yang udaranya sudah tercemar, dan di situ ada pembawa Covidnya.
Itu maka untuk terbebas dari kemungkinan kita tertimpa kekonyolan jatuh sakit Covid, seberapa bisa mengurangi kemungkinan potensi tertular di area - area publik berisiko tinggi: gedung bioskop, tempat gym, tempat ibadah, restoran, makan bersama, ke tempat pesta, serta gedung tertutup beraircon.
Makin membatasi diri, makin tahu diri, makin kecil kemungkinan mengalami kekonyolan.
Makin sering mendekati area dan kegiatan berkumpul, makin besar kemungkinan akan mengalami kekonyolan. Barangkali perlu zero risiko.
Terkesan ini berlebihan. Tapi teoretisnya memang seperti itu.
Maka tanpa memahami sedetil ini bagaimana Covid - 19 sampai membuat kita sakit, sering tidak terduga. Apa jadinya kalau kita terlanjur sakit oleh hal yang tidak terduga itu, sebuah point of no return.
Sebuah kekonyolan hanya karena tak menduga sedang dirundung Covid - 19, sehingga demam dan batuk seminggu dibiarkan, misalnya, lalu menjadikan kita harus kehilangan nyawa akibat Covid. Hanya karena tidak menduga.
Juga saya kira tidak berlebihan kalau selama pandemi ini kita senantiasa mengasumsikan bahwa setiap orang yang kita temui, kendati orang yang kita kenal, bahkan anak atau kerabat sendiri, ada potensi membawa Covid - 19. Mengapa?
Oleh karena kita tidak tahu sebelum ketemu kita, orang tersebut sudah berkontak dengan siapa, sopir atau asisten rumah tangga kita selama berangkat ke rumah kita bicara dengan siapa, ketemu dengan siapa, berdekatan dengan siapa? Termasuk tukang sayur depan rumah, pengantar paket, kita tidak tahu riwayat sebelumnya bisa jadi mereka sudah kontak dengan pembawa Covid.
Kasus orangtua ditularkan anak sendiri yang masih mobilitas tinggi di luar rumah, dan kluster keluarga lainnya, kini semakin banyak bermunculan.
Pertanyaannya, apakah dengan mengetahui ihwal Covid - 19 sedetil ini membuat kita parno? Apakah berlebihan?
Apakah itu yang harus menimbulkan ketakutan, depresi, atau kecemasan?
Saya kira itu semua bukan mengharuskan kita menjadi harus ketakutan, melainkan harus membuat kita waspada. Membuat kita aware, demi kita bisa memperkirakan, menduga, yang selama ini kita tidak atau belum terpikirkan.
Kepada semua teman kerabat sahabat saya selalu memberikan gambaran ini, sedetil ini. Bahwa ada yang bersikap abai, itu keputusan pribadi.
Ya, apapun, itu keputusan pribadi, dan hak pribadi setiap orang menyikapi. Ada pertimbangan pribadi lainnya, misal, Covid - 19 sebagian besar, lebih 95 persen toh akan menyembuh sendiri (sel - limiting), dan angka kematian Covid - 19 hanya sekitar 4 - 5 persen saja.
Namun bagi yang lain mungkin menyikapi alangkah baiknya kalau boleh memilih tidak perlu sampai sakit, kendati betul bisa sembuh sendiri, dan tidak selalu harus sampai kehilangan nyawa.
Bagi yang lain, khususnya yang berisiko tinggi menjadi sakit berat dan atau kritis, yakni mereka yang sudah senior, pada umur mana sistem imun sudah semakin menurun dengan bertambahnya umur, memilih bersikap "tahu diri", menahan diri seberapa bisa tidak memasuki area berisiko tinggi tertular.
Kalau bukan prioritas, dan kebutuhan yang ke seberapa, misal sekadar buat belanja, atau rekreasi, khusus bagi yang berisiko, termasuk yang punya penyakit penyerta comorbid, pilihan sikapnya menjauh dari area berisiko tinggi. Tetap menahan diri.
Sekali lagi karena Covid - 19 tidak kelihatan. Udara ruangan bisa saja dibersihkan dengan ultraviolet, dengan hepa, dan teknologi tinggi, dan kita tetap patuh protokol kesehatan, sisanya tinggal keputusan pribadi, hendaknya kita tidak perlu mengekor pada sikap orang lain kalau meniscayai diri sendiri bisa berisiko mengalami kekonyolan.
Salam sehat,
Penulis: Dr Hendrawan Nadesul: Dokter dan Pengamat Masalah Sosial
Baca Juga
- The Indonesian Embassy in Cairo Receives Aid for Palestine
- Ministry of Foreign Affairs and Supreme Court Optimize Digitalization of Cross-border Civil Legal Assistance Services
- The Indonesian Embassy in Cairo Receives Aid for Palestine
- The Indonesian Consulate General in Perth Introduces Potential Agricultural Cooperation Between Indonesia and Western Australia at the Food Innovation…
- Indonesian Seafarer Released by Angolan Police with Assistance from the Indonesian Embassy in Windhoek
Komentar